Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa
RADAR POS, AMBON - Pelantikan 242 Pejabat administrator dan pengawas dilingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku pada, Rabu (03/09/2025) menuai kritik publik.

Meski Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa (HL) dalam sambutannya menegaskan, pentingnya integritas dan profesionalisme, sebagian kalangan menilai pelantikan tersebut belum mencerminkan asas meritokrasi sebagaimana dijanjikan dalam visi pembangunan daerah.

Dalam pidatonya, Lewerissa menekankan, bahwa pelantikan pejabat merupakan bagian dari upaya meningkatkan tata kelola pemerintahan.

"Integritas, profesionalisme, dan pengabdian kepada masyarakat harus menjadi landasan disetiap Aparatur Sipil Negara (ASN)," katanya.

Namun demikian, sejumlah pihak diluar pemerintahan menilai proses penempatan pejabat terkesan sarat kepentingan politik. Isu yang berkembang menyebutkan adanya praktik akomodasi kepentingan keluarga dan lingkaran kekuasaan, yang dinilai bertentangan dengan prinsip meritokrasi.

JANJI KAMPANYE VS REALITA PELANTIKAN

Mari kita ingat kembali. "Saptacita" yang digaungkan dengan penuh semangat menjanjikan sebuah pemerintahan yang profesional, bersih, dan melayani.

Salah satu esensinya adalah membangun birokrasi yang ramping dan efisien, diisi oleh ASN yang kapabel, bukan karena kedekatan atau hubungan keluarga.

Namun, apa yang tersaji pada pelantikan kemarin adalah antitesis dari janji tersebut. Isu yang beredar kencang dikalangan masyarakat dan ASN sendiri menunjukkan, bahwa banyak posisi kunci justru diisi oleh orang-orang yang memiliki afiliasi personal dengan lingkar kekuasaan: keluarga dekat Gubernur, Wakil Gubernur (Wagub), hingga orang-orang kepercayaan Sekretaris Daerah Maluku (Sekda).

Jika ini benar, maka ini adalah praktik nepotisme dan patronase klasik yang membajak birokrasi. Loyalitas pribadi ditempatkan diatas kompetensi teknis.

Jabatan publik tidak lagi dilihat sebagai amanah untuk melayani masyarakat, melainkan sebagai "Kue Kekuasaan" yang harus dibagikan kepada kroni dan tim sukses. Ini adalah sebuah kemunduran besar bagi Reformasi Birokrasi (RB) di provinsi Maluku.

DAMPAK BURUK BAGI RAKYAT MALUKU

Mungkin sebagian orang menganggap ini hanyalah "Politik Biasa". Namun, menempatkan orang yang tidak kompeten pada posisi manajerial pemerintahan memiliki dampak destruktif yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

* Pelayanan Publik yang Lamban dan Buruk. Bayangkan seorang kepala bidang yang tidak memahami substansi teknis bidangnya. Ia tidak akan mampu merumuskan kebijakan yang efektif, mengawasi program dengan benar, atau memberikan arahan yang jelas kepada bawahannya. Hasilnya..? Program kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur akan berjalan ditempat. Urusan perizinan menjadi rumit, dan kualitas layanan publik secara keseluruhan akan anjlok.

* Inovasi yang Terbunuh. Pejabat yang diangkat karena kedekatan cenderung bermain aman dan enggan mengambil risiko inovatif. Mereka lebih sibuk menyenangkan atasannya yang mengangkatnya dari pada mencari solusi kreatif untuk masalah publik. Akibatnya, pemerintah menjadi lembaga yang stagnan, gagap teknologi, dan tidak adaptif terhadap tantangan zaman.

* Demoralisasi ASN Profesional. Apa yang dirasakan oleh seorang ASN yang berprestasi, kompeten, dan telah mengabdi puluhan tahun ketika melihat posisinya dilewati oleh yuniornya yang minim pengalaman namun punya "Koneksi kuat" Tentu saja frustrasi dan demotivasi. Praktik ini membunuh semangat kerja para birokrat profesional, menciptakan budaya apatis, dan mendorong ASN yang berkualitas untuk "Pindah" atau sekadar bekerja tanpa gairah.

* Suburnya Korupsi. Pejabat yang menduduki posisi bukan karena kemampuannya memiliki rasa akuntabilitas yang rendah terhadap publik, namun sangat tinggi terhadap "Patron"-nya. Hal ini membuka celah besar untuk penyalahgunaan wewenang dan korupsi, karena mereka merasa dilindungi oleh kekuatan politik diatasnya.

MENAGIH AKUNTABILITAS

Pelantikan pada 03 September kemarin seharusnya menjadi alarm keras bagi masyarakat Maluku. Janji manis "Saptacita" kini sedang diuji diatas panggung realita.

Jika Gubernur "Lawamena" serius dengan visi-nya membangun Provinsi Maluku yang lebih baik, ia harus membuktikannya dengan tindakan, bukan sekadar retorika seremonial.

Transparansi dalam proses seleksi dan penempatan Pejabat adalah sebuah keharusan. Publik berhak tahu atas dasar apa seseorang dipilih untuk menduduki sebuah jabatan.

Sudah saatnya kita berhenti memaklumi praktik-praktik birokrasi yang digerogoti oleh kepentingan pribadi dan politik. Sebab pada akhirnya, korban sesungguhnya dari birokrasi yang tidak kompeten adalah seluruh rakyat Maluku. (team)
Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

0 Comments:

Posting Komentar

 
Radar Pos © 2015. All Rights Reserved.
Top