Ilustrasi

Teori Philips yang juga dikenal dengan konsep kurva Philips adalah sebuah konsep ekonomi yang menghubungkan antara inflasi dan tingkat pengangguran.

Teori ini mengasumsikan korelasi negatif (hubungan terbalik) yang berarti ketika tingkat pengangguran rendah maka tingkat inflasi cenderung tinggi, dan sebaliknya ketika tingkat pengangguran tinggi maka tingkat inflasi cenderung rendah.

Dalam prakteknya, konsep kurva Philips lebih cenderung menggambarkan hubungan antara inflasi dan pengagguran dalam jangka pendek.

Tetapi perubahan struktural dalam perekonomian dan faktor-faktor ekonomi lainnya dapat memengaruhi hubungan ini. Seperti perubahan dalam dinamika pasar tenaga kerja, perkembangan teknologi, perubahan harga bahan baku, kebijakan perdagangan.

Tahun 2023 merupakan tahun yang berat untuk Provinsi Maluku dimana harus menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks terkait dengan dinamika pengangguran dan inflasi.

Tingkat pengangguran menjadi perhatian utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, selain itu inflasi yang tinggi atau tidak dapat terkendali dapat memberikan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku ditemukan bahwa, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Maluku pada bulan Februari 2023 berada pada posisi 6,08 persen. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan dengan bulan Februari 2022 (6,44 persen) dan kondisi Agustus 2022 (6,88 persen).

Penurunan angka pengangguran terbuka terjadi secara konsisten baik pada penduduk laki-laki (dari 5,68 persen pada Februari 2022 menjadi 5,22 persen pada Februari 2023) maupun penduduk perempuan (dari 7,63 persen menjadi 7,30 persen).

Selain itu, penurunan angka TPT juga terjadi secara konsisten baik di wilayah perkotaan maupun wilayah pedesaan.

Jika dilihat perkembangan tren 10 tahun terakhir pada kondisi Februari, mulai dari Februari 2013 sampai dengan Februari 2023 angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Maluku berada pada kisaran 6,08 persen sampai dengan 7,77 persen. Sedangkan untuk rata-rata TPT Provinsi Maluku selama 10 tahun terakhir berada pada kisaran 6,79 persen.

Dari kondisi tersebut terlihat Provinsi Maluku masih terjebak pada tingkat pengangguran alamiah, dimana kisaran pengangguran antara 6 – 7 persen.

Dalam dinamika ketenagakerjaan Provinsi Maluku, terlihat adanya tanda-tanda pemulihan setelah terdampak oleh pandemi COVID-19. Jika dianalisis lebih lanjut dengan mempertimbangkan indikator ketenagakerjaan lainnya, maka tercatat adanya pergerakan yang signifikan.

Pada bulan Agustus 2022, terjadi penurunan sebesar 113.290 orang pada jumlah penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 di Maluku. Komponen yang paling berpengaruh terhadap penurunan tersebut adalah pengurangan jam kerja (shorter hour) akibat pandemi COVID-19.

Selain pengangguran, inflasi juga bereran penting terhadap dinamika perekonomian Maluku. Tingkat Inflasi yang stabil sangat penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi daerah. Tingkat infalasi yang tinggi dapat membawa pengaruh biaya hidup penduduk di Provinsi Maluku. Jika inflasi tinggi, maka harga barang dan jasa cenderung mengalami kenaikan dan hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat.

Inflasi di Kota Ambon mengalami tren kenaikan yang signifikan mulai dari tahun 2021 hingga April 2023. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, kenaikan angka inflasi di Kota Ambon telah terlihat sejak tahun 2021.

Pada tahun 2020, inflasi di Kota Ambon hanya sebesar 0,09 persen, namun meningkat drastis menjadi 4,05 persen pada tahun 2021. Selanjutnya, angka inflasi terus meningkat secara beruntun di tahun 2022, mencapai puncaknya pada akhir tahun dengan angka inflasi 6,39 persen. Hingga bulan April 2023, inflasi di Kota Ambon telah mencapai 4,86 persen, dan perlu diingat bahwa masih terdapat 8 bulan lagi hingga akhir tahun 2023.




Pergerakan kenaikan angka inflasi di Kota Tual sudah terlihat sejak tahun 2019, mengikuti tren yang serupa dengan kondisi Kota Ambon.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, inflasi di Kota Tual pada akhir tahun 2018 hanya 1,62 persen. Namun, angka inflasi tersebut mengalami peningkatan menjadi 2,34 persen pada akhir tahun 2019, dan terus meningkat hingga menembus angka 4,52 persen pada akhir tahun 2022. Hingga bulan April 2023, inflasi di Kota Tual telah mencapai 6,15 persen dan menjadi angka inflasi tertinggi di kawasan Sulawesi Maluku Papua (SULAMPUA).

Potensi peningkatan inflasi di Kota Ambon dan Kota Tual diperkirakan masih akan terjadi pada beberapa bulan kedepan. Salah satu penyebabnya adalah faktor musim, dimana dalam beberapa bulan kedepan akan memasuki musim timur sehingga akan berpengaruh pada supply komoditi hasil perikanan. Jika berkurangnya supply dari hasil penangkapan ikan dan permintaan dari konsumen tetap maka secara tidak langsung akan berpotensi menyebabkan kenaikan harga.

Faktor lain yang berpotensi mendorong kenaikan inflasi adalah harga tiket pesawat yang masih relatif tinggi, dan berdampak pada kelompok pengeluaran transportasi.

Hingga bulan April 2023, inflasi pada komponen ini di Kota Ambon mencapai 13,41 persen, sedangkan di Kota Tual mencapai 22,36 persen. Oleh karena itu, hal ini menjadi perhatian serius bagi para pemangku kebijakan.

Dinamika inflasi dan pengangguran di Maluku memiliki hubungan yang sangat kompleks dan saling memengaruhi dalam konteks perekonomian regional.

Perkembagan inflasi dapat memiliki dampak negatif terhadap pengangguran, sementara tingkat pengangguran yang tinggi juga dapat berkontribusi pada masalah inflasi.

Ketika inflasi Kota Ambon dan Kota Tual terus meningkat maka biaya hidup akan cenderung meningkat dan akan mengurangi daya beli masyarakat di Ambon dan Tual. Hal ini menyebabkan penurunan tingkat konsumsi yang akan berpengaruh menghambat pertumbuhan ekonomi dan implikasinya pada penurunan permintaan tenaga kerja.

Jika permintaan tenaga kerja menurun maka tingkat pengangguran cenderung meningkat, karena jumlah pencari kerja melebihi kapasitas lapangan kerja yang tersedia.

Sehingga untuk mengatasi dinamika inflasi dan pengangguran di Maluku, perlu langkah-langkah strategis yang diambil Pemerintah Daerah.  Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu memperhatikan stabilitas harga dan menjaga inflasi pada tingkat yang terkendali melalui kebijakan moneter dan fiskal yang tepat.

Selain itu, pengembangan sektor ekonomi yang berpotensi menciptakan lapangan kerja baru perlu didorong seperti sektor pariwisata, pertanian, perikanan dan industri kreatif.

Investasi dalam pendidikan dan pelatihan ketrampilan juga menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja di Maluku.

Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan serta pelatihan teknis akan mengurangi kesenjangan antara keahlian yang diminta oleh pasar kerja dan ketrampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja di Maluku. Sehingga hal ini akan meningkatkan peluang kerja dan merupakan salah satu faktor dalam mengurangi tingkat pengangguran di Maluku.

Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan, dan masyarakat dirasakan sangat penting untuk menciptakan sinergi yang efektif dalam mengatasi dinamika inflasi dan pengangguran di Maluku.

Pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan didukung oleh kebijakan yang proaktif dan inovatif, dapat membantu mencapai pertumbuhan ekonomi inklusif dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat Maluku.

Penulis: Jefri Tipka, S.Si, M.Si Statistisi Ahli Muda BPS Provinsi Maluku.


0 Comments:

Posting Komentar

 
Radar Pos © 2015. All Rights Reserved.
Top