Fransina Natalia Mahudin
Salah satu kebijakan Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi tahun 2015-2019 adalah pembangunan infrastruktur dengan menaruh perhatian lebih terhadap pemerataan pembangunan Kawasan Indonesia Timur (KIT). Kebijakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan sejalan dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan Nawacita yang salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Pembangunan Indonesia dari pinggiran diharapkan dapat memperkuat daerah-daerah dan desa serta mewujudkan kemandirian ekonomi guna menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Pembangunan infrastruktur ini diharapkan menjadi salah satu kebijakan yang menjadi jalan keluar mengatasi permasalah kemiskinan dan ketimpangan di berbagai wilayah. Penggunaan anggaran belanja infrastruktur meningkat signifikan semenjak tahun 2015 hingga 2018 mencapai 410,4 Triliun naik 5,2 persen dibanding tahun 2017. Peningkatan penyerapan anggaran serta kebijakan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur banyak menyita perhatian publik dikarenakan asas manfaat yang diterima oleh masyarakat dalam jangka panjang terutama untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan, namun disisi lain pembangunan infrastruktur tidak dapat berdiri sendiri untuk mendorong perkembangan ekonomi suatu daerah atau wilayah.

Pembangunan infrastruktur juga membutuhkan suatu kesiapan struktur ekonomi yang kuat guna menopang pertumbuhan suatu daerah dan wilayah itu sendiri. Artinya, pembangunan infrastruktur yang dijalankan pemerintah saat ini harus juga diimbangi dengan penguatan struktur ekonomi daerah. Jika tidak, maka sudah dapat dipastikan pembangunan infrastruktur tidak akan memberikan dampak yang besar bagi penurunan kemiskinan dan perbaikan ketimpangan di masa yang akan datang.

Maluku merupakan salah satu provinsi di Kawasan Indonesia Timur yang menjadi sasaran pembangunan infrastruktur yang secara sosial dan ekonomi masih jauh tertinggal di bandingkan wilayah-wilayah lain. Maluku secara geografis adalah kepulauan yang wilayahnya heterogen, sehingga memerlukan rentang kendali yang besar sebagai kerangka penciptaan kesatuan wilayah kepulauan.

Pemusatan kegiatan ekonomi dan pola distribusi di Provinsi Maluku terkosentrasi pada pulau-pulau besar dan wilayah-wilayah tertentu sehingga daerah-daerah yang mempunyai basis potensial sumber daya alam masih jauh dari pemanfaatan. Perbedaan karakteristik tersebut juga menuntut pendekatan pembangunan dan pola kebijakan yang berbeda pula.

Faktor transformasi dan akselerasi pembangunan di wilayah Maluku seperti kapasitas sumber daya manusia, peningkatan efisiensi,  nilai tambah sumber daya alam serta kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi dinilai masih rendah. Pemerintah perlu meningkatkan keseimbangan transformasi dan akselerasi pembangunan selaras dengan pembangunan infrastruktur serta memperkuat struktur ekonomi daerah guna tercapainya outcome yang berkelanjutan dan berpengaruh mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan di 11 Kabupaten/Kota pada Provinsi Maluku.

Dari 11 Kabupaten/Kota Angka kemiskinan pada kabupaten sangat tinggi berbeda jauh

Dengan angka kemiskinan kota ambon sebagai pusat pertumbuhan. Padahal basis potensial pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Maluku sangat dominan di kabupaten seperti Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara dll. Berikut tergambar tingkat kemiskinan pada 11 Kabupaten/Kota pada tahun 2015 dan 2016.
(Sumber: BPS, diolah)
Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, pembangunan infrastruktur yang sedang berjalan harusnya seimbang dengan pengembangan struktur ekonomi sebagai bentuk kesiapan suatu wilayah dalam meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan daerah. Didominasinya sektor tersier bukan industri pengelolaan pada basis potensial sumber daya alam harus menjadi perhatian bersama.

Kegiatan ekonomi di Maluku selama ini berpusat pada peningkatan hasil ekspor bukan olahan, dimana kegiatan ekonomi tersebut tidak menciptakan kegiatan ekonomi riil yang mempunyai efek multiplier terhadap perluasan kegiatan investasi, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakatnya. Konsekuensi logis dari keadaan-keadaan tersebut bahwa secara struktural provinsi Maluku akan sulit menjadi wilayah pusat perekonomian sektor riil, pusat perdagangan, apalagi sebagai pusat keuangan.

Maluku memiliki potensi pertambangan dan energi yang cukup besar, terutama untuk nikel dan tembaga. Wilayah Kepuluan Maluku merupakan penyumbang terbesar pertambangan nikel di Indonesia dengan cadangan nikel sebesar 39 persen dan tembaga sebesar 92.48 persen dari total nasional namun belum memiliki hasil produksi yang bernilai tambah dan berdaya saing tinggi. Hasil ekstraksi produk tambang nikel dan tembaga secara umum dilakukan tanpa melalui proses pengolahan untuk memberikan nilai tambah bagi hasil produksi, sehingga kontribusi sektor-sektor tersebut dalam memajukan perekonomian lokal kurang optimal.

Potensi perikanan Wilayah Kepulauan Maluku menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen makanan laut terbesar di Asia Tenggara. Potensi terbesar dari sektor perikanan berasal dari perikanan tangkap. Potensi tersebut belum mendapat nilai tambah lebih dari proses pengelolaannya. Banyak faktor yang menjadi kendala terkait akses pengelolaan dan distribusi hasil tangkap pada daerah-daerah yang belum terkoneksi dengan baik. Potensi budidaya laut seperti kakap putih, kerapu, rumput laut, tiram mutiara, teripang, lobster, dan kerang-kerangan yang terdapat pada Laut Seram, Manipa, Buru, Kep. Kei, Kep. Aru, Yamdena, pulau-pulau terselatan dan wetar belum menunjukan peningkatan hasil produksi dikarenakan minimnya perusahaan budidaya dan penangkapan ikan dan faktor utama selain transportasi.

Pembiayaan perusahaan budidaya dan penangkapan ikan cenderung dari modal sendiri atau dari keluarga, kerabat, atau bahkan rentenir disebabkan oleh rendahnya akses keuangan terhadap lembaga kredit formal dan usaha kecil perusahaan budidaya dan penangkapan ikan belum memiliki status badan hukum sehingga mematikan sebagian perusahan-perusahan ikan yang beroperasi. Memacu budidya hasil potensi laut dapat dilakukan dengan membangun industri pada titik-titik tertentu.

Jika melihat dukungan anggaran pemerintah daerah melalui alokasi anggaran bagi urusan perindustrian, dukungan pemerintah daerah masih dirasa kurang. Hal ini terlihat dari rasio alokasi belanja urusan perindustrian terhadap total belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Provinsi Maluku dan 11 Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Maluku. Pada tahun 2017, rata-rata alokasi APBD urusan perindustrian hanya sebesar 0,71 persen dari total belanja. Rendahnya alokasi dalam APBD ini tidak dapat dilepaskan dari masih rendahnya kemampuan keuangan daerah yang tercermin dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Provinsi Maluku. Per tahun 2017, rasio PAD Provinsi Maluku hanya 18,16 persen dan rata-rata di 11 Kabupaten/Kota hanya sebesar 4,5. (Sumber data DJPK Kemenkeu 2017 dan diolah penulis).

Rendahnya alokasi ini menunjukkan dukungan pemerintah daerah masih relatif sangat rendah untuk meningkatkan sektor perindustrian di Maluku. Kemampuan daerah yang rendah tersebut, akan menjadi sulit mengharapkan dukungan yang optimal untuk pengembangan industri pengolahan berbasis potensi sumber daya alam guna memperkuat struktur ekonomi daerah.

Pembangunan infrastruktur dan penguatan struktur ekonomi daerah tidak seluruhnya bisa dibiayai menggunakan Anggran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) melainkan butuh intervensi anggaran belanja Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, dukungan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat dapat menjadi salah satu opsi yang dapat ditempuh tetapi juga membutuhkan kemandirian pemerintah daerah untuk memperkuat struktur ekonomi daerahnya sembari berjalannya pembangunan infrastruktur.

Intervensi anggaran belanja Pemerintah Pusat bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bukan hanya difokuskan untuk pembangunan infrastruktur saja. Pembangunan sektor pertanian, sektor energi, sumber daya mineral serta pembangunan sektor industri merupakan peluang untuk menyeimbangkan pembangunan infrastruktur pada kawasan indonesia timur khususnya provinsi maluku.

Pemerintah memerlukan proses perencanaan anggaran dengan cara mengevaluasi dan mengkaji kembali kebutuhan mendasar setiap daerah untuk menguatkan struktur ekonominya karena pembangunan infrastruktur saja tak kunjung mampu menyelesaikan kompleksitas persoalan daerah kepulauan dengan solusi komprehensif. Pembangunan tidak dapat dititikberatkan terhadap pembangunan infrastruktur tanpa strategi berkelanjutan.

Keseimbangan pembangunan yang ideal untuk menjawab permasalahan kemiskinan dan ketimpangan pada kawasan indonesia timur khususnya provinsi maluku dapat dilakukan melalui:

1. Peningkatan strategi pemberdayaan dan penguatan dalam rangka mempersiapkan masyarakat lokal yang mandiri dan inovatif mengelola sumber daya alam serta memiliki akses untuk meningkatkan pengelolahan potensi lokal pada tingkat desa.

2. Peningkatan Lembaga pendidikan Vokasional dengan mutu pendidikan dan penerapan tekonologi di bidang pertanian dan perikanan.

3. Peningkatan pembangunan industri berbasis kelautan dan pertanian yang menjadi Maluku sebagai daerah produsen bukan konsumen ikan terbesar. (Comparative advantage menjadi competitive advantage)

4. Penciptaan lapangan kerja dengan mendorong teknik-teknik produk yang padat karya dalam sektor pertanian dan membantu kegiatan-kegiatan sektor informal.

Penulis : Fransina Natalia Mahudin. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura Ambon

0 Comments:

Posting Komentar

 
Radar Pos © 2015. All Rights Reserved.
Top